Usut Beredarnya Makanan Haram

Suara Konsumen, Sabtu, 4 April 2009 (Surabaya Post)

Baru-baru ini masyarakat di Kota Bogor dan Bandung digegerkan penemuan makanan abon dan dendeng daging babi hutan (celeng) yang dijual pedagang tradisional. Ternyata, setelah ditelusuri lebih jauh, makanan serupa juga beredar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, tak terkecuali di Malang.

Beredarnya makanan haram menandakan perlindungan terhadap warga muslim yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia sangat lemah. Buktinya, kasus yang terjadi bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi sudah sering mencuat di masyarakat tanpa pernah ada proses hukum atas pelakunya.

Lebih ironis lagi dan menjadi perdebatan adalah bungkusan abon maupun dendeng yang ditemukan konsumen dari pedagang tertulis label daging sapi dan berlogo makanan halal demi menyamarkan agar tak terditeksi. Sehingga bisa dikatakan telah terjadi upaya penipuan sistematis agar masyarakat tertipu untuk mengonsumsinya.

Untuk itu, masyarakat wajib mengembangkan sikap waspada supaya tak salah dalam membeli jenis makanan tertentu yang ternyata termasuk makanan yang diharamkan agama. Pasalnya, kecerobohan konsumen kadang sering menjadi penyebab utama dalam pembelian barang makanan yang sebenarnya tak layak konsumsi. Karena tergiur embel-embel harga murah atau mendapat lebih banyak dari harga jual normal, banyak masyarakat tergiur membeli abon maupun dendeng. Dan tak adanya sikap kritis itu lah yang membuat masyarakat salah mengonsumsi makanan haram.

Berkaca dari itu, pemerintah harus mengupayakan perlindungan bagi umat Islam yang selama ini mengharamkan daging babi. Karena menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir, terjadinya penemuan daging babi di pasaran akibat  pemerintah daerah (pemda) yang bertugas sebagai pengawas peredaran makanan kurang menjalankan tugas secara rutin. Sehingga sering kecolongan dengan beredarnya makanan yang tak sesuai standar  dan layak konsumsi masyarakat.

Jangan seperti kebijakan selama ini, di mana pemda hanya melakukan langkah reaktif setelah makanan beredar dan menarik barang yang ada di pedagang setelah menjadi polemik di masyarakat. Karena jika itu saja tak cukup dan malah menandakan penanganan masalah cuma sepotong dan tak komprehensip. Ada pun melakukan razia juga setali tiga uang. Sehingga yang diperlukan adalah pengawasan ketat supaya kelak tak terulang kembali dan masyarakat tak dirugikan lagi.

Di samping itu, pihak kepolisian juga harus mengusut tuntas kasus tersebut agar diketahui siapa produsen dan pengedar yang telah menipu masyarakat. Pelaku wajib dihukum berat atas perbuatannya yang telah membuat banyak kesalahan, seperti pemalsuan uji laboratorium oleh Badan POM dan pemasangan logo halal yang menjadi ranah MUI, serta memproduksi barang yang tak boleh diedarkan secara luas. Sehingga dengan melihat banyaknya unsur pelanggaran yang dilakukan, mala pelaku wajib dijerat dengan banyak pasal untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang demi mereguk keuntungan pribadi sampai mengorbankan umat Islam.

Karena itu, upaya menjebloskan ke penjara dan menghukum seberat-beratnya bisa jadi setidaknya akan menenangkan masyarakat. Dan pabrik yang menjadi tempat pembuatan makanan juga tak ditutup sebagaimana mestinya agar masyarakat tak resah.

Erik Purnama Putra

Mahasiswa Psikologi

Tinggalkan komentar