Bongkar Skandal BLBI

Opini Hukum, Selasa, 9 Desember 2008 (Surabaya Pagi)

Masyarakat Indonesia pasti tidak bisa melupakan skandal BLBI yang telah membuat bangsa ini terjerumus dalam jurang kehancuran. Pasalnya, akibat penyelewengan dana BLBI, Indonesia harus terjerat lingkaran utang yang sangat besar dan butuh waktu puluhan tahun untuk melunasinya.

Terkatung-katungnya kasus hukum menyangkut ketidakjelasan skandal BLBI membuat geram banyak kalangan dan mendesak supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau mengambil alih penyelesaian kasus tersebut. Karena masyarakat sudah cukup kecewa dengan kinerja aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait penyelesaian kasus BLBI.

Pasalnya, ketika kasus BLBI ditangani pihak Kejagung, institusi penegak hukum itu malah mengentikan penyidikan dan menyatakan bahwa obligator yang sudah mengembalikan kerugian negara dianggap lunas. Sehingga kasus itu sudah ditutup dan mendapatkan kekuatan hukum tetap.

Sayangnya, banyak kalangan meragukan bahwa kinerja aparatur Kejagung obyektif dalam menangani kasus mega korupsi tersebut. Buktinya, Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ujung tombak Kejagung dalam menangani kasus BLBI malah tertangkap tangan menerima suap dari Artalyta Suryani, yang masih terkait dengan salah satu aktor penerima dana BLBI.

Karena itu, desakan berbagai kalangan agar KPK mengambil alih wewenang penyelidikan BLBI karena dianggap sebagai lembaga hukum paling kredibel dalam menangani kasus korupsi terus bermunculan.

Namun, tentu KPK tidak bisa langsung mengambil alih kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia. Pasalnya, KPK harus menghadapi aturan birokrasi yang berlaku dan tidak ingin dinilai melangkahi kinerja Kejagung yang sudah menutup kasus tersebut. Sehingga membuat KPK jadi serba kikuk ketika menyikapi kasus BLBI.

Tidak adanya institusi resmi hukum negara yang berani mengusik kasus BLBI tentu merupakan sebuah ironi di Indonesia. Skandal BLBI yang merugikan negara hingga Rp 600 triliun telah membuat bangsa ini harus menanggung beban utang berat karena wajib memcicil utang beserta bunganya yang sangat mencekik kepada negara maupun lembaga kreditor.

Bayangkan, hingga tahun 2030, pemerintah terbebani kewajiban membayar utang sebesar Rp 60 triliun untuk bunga rekap obligasi perbankan. Padahal, pemerintah Indonesia tidak pernah sedikit pun ikut menikmati dana bantuan BLBI untuk menyehatkan perbankan yang kolaps saat itu.

Malahan, akibat moral hazard sejumlah pemilik bank dan spekulan yang tidak bertanggungjawab, dana talangan itu malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Sehingga dunia perbankan tetap ambruk dan perekonomian nasional harus mengalami masa suram akibat tidak kuat menghadapi tekanan krisis ekonomi Asia. Karena itu, dapat disimpulkan jika BLBI adalah malpetaka terbesar yang membuat kondisi perekonomian bangsa Indonesia menjadi hancur..

Yang lebih menjengkelkan, beberapa enerima dana BLBI, seperti Agus Anwar (Bank Pelita), Samadikun Hartono (Bank Modern), Tony Tanjung (Bank Tata), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Fadel Muhammad (Bank Intan), dan lainnya tidak mendapatkan ganjaran setimpal akibat ulah yang dilakukannya. Bahkan, banyak yang hidup berkeliaran di luar negeri dan tidak tersentuh kasus hukum sedikit pun.

Untuk itu, pemerintah melalui KPK sudah sepatutnya membuka lagi skandal BLBI demi memproses koruptor yang telah merugikan negara itu supaya mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sudah waktunya bagi KPK untuk mendengarkan suara rakyat. Karena saat ini, hanya KPK sebagai institusi penegak hukum yang dapat menjadi gantungan harapan yang masih dipercaya masyarakat.

KPK jangan ragu untuk bertindak keras kepada pelaku yang terlibat menikmati dana bantuan BLBI. Pelaku harus diseret ke pengadilan dan dihukum seberat-beratnya guna menciptakan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. KPK harus terus konsisten menjaga wibawa hukum Indonesia supaya bisa ditegakkan dan dipandang remeh koruptor.

 

Erik Purnama Putra

Anggota Forum Diskusi Ilmiah dan Aktivis Pers Kampus Bestari UMM

Tinggalkan komentar