Suara Konsumen, Kamis, 15 Januari 2009
MUI akhir-akhir ini dinilai terlalu gampang mengeluarkan fatwa haram terkait peristiwa yang terjadi di masyarakat. Dan bagi banyak kalangan, tindakan itu kurang tepat. Pasalnya, sebagai institusi bernuansa religius, fatwa yang dikeluarkan MUI tidak ada hubungannya sama sekali dengan esensi kegiatan keagamaan masyarakat.
Buktinya, MUI berencana mengeluarkan fatwa haram menyangkut masalah fenomena maraknya golongan putih (golput) dalam menyikapi Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Fenomena golput itu semakin merebak ketika Gus Dur ikut menyerukan kepada rakyat yang tidak puas dengan pemerintahan agar tidak ikut memilih dalam pesta demokrasi.
Menyikapi kejadian itu, sudah sepantasnya jika MUI tidak ikut campur mengurusi masalah proses pemilihan langsung secara demokratis itu. Pasalnya, masalah golput adalah masalah politik dan berkaitan dengan urusan pribadi masing-masing. Karena hal itu juga menyangkut proses sarana menyampaikan pendapat sebagai salah satu bentuk wujud hak asasi seseorang dalam menyikapi Pemilu atau Pilkada. Sehingga jika urusan itu malah ditanggapi MUI dengan mengeluarkan fatwa haram. Jelas tidak nyambung dan sangat lucu jadinya.
Jika dulu MUI mengeluarkan fatwa haram terkait aliran agama yang menyimpang, hal itu masih bisa ditolerir dan cukup mendapat dukungan luas masyarakat Indonesia. Namun bila masalah orang yang memilih golput coba difatwakan haram, tentu sangat sulit diterima nalar.
Dari hasil pengamatan, ternyata munculnya diskursus fatwa haram bagi rakyat yang golput dan tidak mencoblos dalam pesta demokrasi di Indonesia karena dorongan beberapa politisi tertentu. Hal itu dapat dimaklumi. Pasalnya, banyak politikus yang takut tidak terpilih lagi duduk sebagai anggota dewan karena masyarakat sudah antipati dengan proses pemilihan kursi legislatif maupun eksekutif. Sehingga jika masyarakat banyak yang tidak alias ikut golput, maka politikus bersangkutan akan dirugikan.
Sudah bukan menjadi rahasia, dunia politik yang penuh intrik dan tidak membawa keuntungan apa pun bagi rakyat adalah faktor utama yang membuat rakyat enggan untuk mencoblos. Sehingga lebih memilih golput. Kondisi itu harusnya disadari MUI sebagai lembaga representasi agama Islam.
Karena masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada pada lingkaran kemiskinan membuat golongan strata bawah itu menjadi tidak percaya lagi dengan sepak terjang politikus. Sehingga berakibat masyarakat malas mengikuti pesta demokrasi dan sangat sedikit partisipasinya dalam pencoblosan. Di samping juga rakyat Indonesia sudah jenuh dan tidak percaya lagi dengan institusi demokrasi (partai beserta caleg, parlemen, dan pemerintah).
Karena itu, lembaga MUI jangan asal mengeluarkan fatwa haram sebelum memahami masalah secara substantif dan komprehensif. Jangan sampai setiap fatwa yang dikeluarkan MUI menjadi mubadzir dan sia-sia disebabkan tidak ada yang mematuhinya. Karena pada dasarnya fatwa itu kurang tepat dan tidak bisa mengikat.
Erik Purnama Putra
Mahasiswa Psikologi UMM
Gedung SC Lt.1 Bestari Unmuh Malang
erikeyikumm@yahoo.co.id
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.