Arsip untuk Januari 16, 2009

Fatwa Haram Kurang Tepat

Posted in Agama on Januari 16, 2009 by erikpurnama

Suara Konsumen, Kamis, 15 Januari 2009

MUI akhir-akhir ini dinilai terlalu gampang mengeluarkan fatwa haram terkait peristiwa yang terjadi di masyarakat. Dan bagi banyak kalangan, tindakan itu kurang tepat. Pasalnya, sebagai institusi bernuansa religius, fatwa yang dikeluarkan MUI tidak ada hubungannya sama sekali dengan esensi kegiatan keagamaan masyarakat.

Buktinya, MUI berencana mengeluarkan fatwa haram menyangkut masalah fenomena maraknya golongan putih (golput) dalam menyikapi Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Fenomena golput itu semakin merebak ketika Gus Dur ikut menyerukan kepada rakyat yang tidak puas dengan pemerintahan agar tidak ikut memilih dalam pesta demokrasi.

Menyikapi kejadian itu, sudah sepantasnya jika MUI tidak ikut campur mengurusi masalah proses pemilihan langsung secara demokratis itu. Pasalnya, masalah golput adalah masalah politik dan berkaitan dengan urusan pribadi masing-masing. Karena hal itu juga menyangkut proses sarana menyampaikan pendapat sebagai salah satu bentuk wujud hak asasi seseorang dalam menyikapi Pemilu atau Pilkada. Sehingga jika urusan itu malah ditanggapi MUI dengan mengeluarkan fatwa haram. Jelas tidak nyambung dan sangat lucu jadinya.

Jika dulu MUI mengeluarkan fatwa haram terkait aliran agama yang menyimpang, hal itu masih bisa ditolerir dan cukup mendapat dukungan luas masyarakat Indonesia. Namun bila masalah orang yang memilih golput coba difatwakan haram, tentu sangat sulit diterima nalar.

Dari hasil pengamatan, ternyata munculnya diskursus fatwa haram bagi rakyat yang golput dan tidak mencoblos dalam pesta demokrasi di Indonesia karena dorongan beberapa politisi tertentu. Hal itu dapat dimaklumi. Pasalnya, banyak politikus yang takut tidak terpilih lagi duduk sebagai anggota dewan karena masyarakat sudah antipati dengan proses pemilihan kursi legislatif maupun eksekutif. Sehingga jika masyarakat banyak yang tidak alias ikut golput, maka politikus bersangkutan akan dirugikan.

Sudah bukan menjadi rahasia, dunia politik yang penuh intrik dan tidak membawa keuntungan apa pun bagi rakyat adalah faktor utama yang membuat rakyat enggan untuk mencoblos. Sehingga lebih memilih golput. Kondisi itu harusnya disadari MUI sebagai lembaga representasi agama Islam.

Karena masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada pada lingkaran kemiskinan membuat golongan strata bawah itu menjadi tidak percaya lagi dengan sepak terjang politikus. Sehingga berakibat masyarakat malas mengikuti pesta demokrasi dan sangat sedikit partisipasinya dalam pencoblosan. Di samping juga rakyat Indonesia sudah jenuh dan tidak percaya lagi dengan institusi demokrasi (partai beserta caleg, parlemen, dan pemerintah).

Karena itu, lembaga MUI jangan asal mengeluarkan fatwa haram sebelum memahami masalah secara substantif dan komprehensif. Jangan sampai setiap fatwa yang dikeluarkan MUI menjadi mubadzir dan sia-sia disebabkan tidak ada yang mematuhinya. Karena pada dasarnya fatwa itu kurang tepat dan tidak bisa mengikat.

Erik Purnama Putra

Mahasiswa Psikologi UMM

Gedung SC Lt.1 Bestari Unmuh Malang

erikeyikumm@yahoo.co.id

Tidak Butuh Pemimpin Instan

Posted in Politik on Januari 16, 2009 by erikpurnama

Suara Konsumen, Selasa, 13 Januari 2009 (Surabaya Post)pemimpin

Panggung politik di Indonesia selalu menawarkan berbagai sensasi dan berita baru. Kali ini, perbincangan masyarakat merebak terkait dengan maraknya munculnya politikus muda, yang namanya cepat mencuat dan meraih popularitas tinggi. Yang kebanyakan dari mereka itu dapat disebut muka baru dalam dunia perpolitikan Tanah Air.

Sayangnya, jika diruntut ke belakang, berbagai politikus muda itu ternyata terkenal dan mampu meraih nama bukan karena hasil kerja keras dan melalui proses kerja panjang. Melainkan karena mendompleng nama orang tuanya yang sudah terlebih dulu menjadi elite politik nasional.

Jika boleh menyebut nama, Puan Maharani, putri Megawati, Eddy Baskoro, putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Hanafi Rais, putra dari Amien Rais, yang termasuk golongan politikus muda calon legislatif, yang juga anak polikus tenar. Mereka semua adalah muka baru dalam panggung politik yang sekarang namanya sudah familiar di mata rakyat Indonesia.

Namun, banyak kalangan beranggapan bahwa politikus muda itu merupakan polikus ‘jadi’, yang bisa besar seperti sekarang karena terbantu orang tuanya. Hal itu jelas merupakan dampak kurang baik bagi sistem perpolitikan Indonesia. Pasalnya, dapat disebut jika konsidi itu adalah cerminan politik dinasti pada era modern, yang berpeluang menimbulkan sistem oligarkhi, yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Idealnya, politikus harus dibentuk dengan cara melalui proses panjang, yang dilalui dengan pendidikan kaderisasi supaya menjadi politikus yang berintegrasi dan teruji. Karena itu, masyarakat perlu untuk memperjuangkan suaranya agar menolak pemimpin instan. Orang seperti itu jangan dipilih sebagai upaya bentuk perlawan rakyat Indonesia.

Bahkan, hal itu sampai mengundang B.J. Habibie untuk turut berkomentar menanggapi fenomena itu. Menurut Presiden Republik Indonesia ke tiga itu, berkembangnya politik dinasti jelas kabar kurang baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Karena akan menghambat terciptanya sistem kaderisasi yang sudah terbentuk dalam internal partai. Sehingga tidak ada kata lain jika harus dilawan demi menciptakan kompetisi politik secara fair. Pasalnya jika politik dinasti dibiarkan berkembang, maka dunia perpolitikan akan dikuasai oleh kelompok tertentu yang berpeluang menciptakan sistem oligarkhi.

Menurut Azyumardi Azra, bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menjadi solidarity maker sekaligus problem solver. Jika hal itu dapat dipenuhi, Indonesia bisa lepas dari keterpurukan dan menjadi bangsa disegani di dunia. Dan ciri pemimpin seperti itu adalah seseorang yang memiliki karakter, yang bisa menyatukan bangsa hingga berintegrasi. Juga memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bangsa.

Syarat itu jelas bertentangan dengan politikus muda anak elite petinggi negara. Bangsa ini sebenarnya membutuhkan sosok pemimpin sejati bukannya calon pemimpin yang disebabkan faktor keturunan. Sehingga Indonesia tidak membutuhkan pemimpin instans yang memiliki popularitas tinggi, namun tidak mempunyai kemampuan memadai dalam dunia politik.

Karena tidak ada ceritanya anak pejabat yang dibesarkan dengan lingkungan berada dan bergaul dalam tataran elite akan mampu menjadi pemimpin yang bisa mengerti masalah rakyat. Sehingga sangat sulit mengharapkan pemimpin instant bisa menjadi pemimpin besar. Dan ditakutkan kebijakannya jauh dengan rakyat kecil. Karena itu, masyarakat Indonesia wajib menolak pemimpin instan.

Erik Purnama Putra

Jurnalis Koran Kampus Bestari UMM

Asingkan Koruptor ke Pulau Terpencil

Posted in Opini Hukum on Januari 16, 2009 by erikpurnama

Opini Hukum, Senin, 12 Januari 2009

BANYAKNYA koruptor yang dtitangkap aparat penegak hukum membuat penjara penuh sesak dijejali pencuri uang rakyat. Menyikapi itu, sudah selayaknya jika dibuat aturan terhadap koruptor supaya ketika sudah dinyatakan bersalah dan harus mendekam di tahanan, koruptor tidak menjalaninya di penjara umum seperti sekarang. Usul saya, mendingan koruptor yang sudah terbukti bersalah dijebloskan ke sebuah penjara khusus yang bertempat di pulau terpencil.

Ide itu bukannya tanpa dasar. Kita tentu masih ingat dengan peristiwa pengasingan tahanan politik (tapol) di era Orde Baru (Orba), di mana ketika itu banyak tapol yang dipenjarakan Presiden Soeharto. Semua lawan politik Soeharto dipindahkan ke Pulau Buru. Sebuah pulau khusus terpencil yang menampung semua lawan politik Orba. Tak hanya itu. Pelaku teroris, macam Amrozi dkk. juga dimasukkan hotel prodeo di Pulau Nusakambangan. Semua penjara itu berada di pulau asing yang jauh dari keramaian.

Untuk itu, tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk melakukan hal sama kepada koruptor. Jika teroris diasingkan dan dipenjarakan di pulau yang jauh dari peradaban. Maka layak juga bagi pemerintah untuk membuat kebijakan memenjarakan koruptor di pulau terpencil supaya memberikan bentuk pelajaran berharga kepada tikus koruptor bagaimana hidup terbatas dan jauh dari kemewahan.

Itu lebih manusiawi dan adil dibanding jika memenjarakan mereka di rumah tahanan umum. Di samping untuk menghindari pemberian fasilitas mewah di luar standar. Juga, demi memunculkan dampak pembelajaran kepada pribadi bersangkutan supaya lekas tobat dan menyesali perbuatannya.

Setidaknya diharapkan jika dipenjarakan di pulau asing, koruptor tidak bisa mendapatkan kehidupan enak dan mau tidak mau harus terbiasa menjalani hidup keras yang serba terbatas. Pasalnya dengan hidup terbiasa di daerah yang jaug peradaban, kondisi itu bisa membentuk jiwa koruptor supaya mengingatkannya bahwa banyak rakyat yang hidupnya miskin, yang diakibatkan ulah koruptor bersangkutan mencuri uang negara.

Lagian, banyak pulau di Indonesia yang tidak berpenghuni dan belum terurus. Seandainya pemerintah mau membuat sebuah penjara di pulau yang jauh dari keramaian, kebijakan itu merupakan langkah progresif bagi upaya perang melawan korupsi. Karena dengan memenjarakan koruptor di pulau asing, hal itu bisa memberikan dampak ketakutan ekstra kepada koruptor lainnya supaya tidak berbuat macam-macam.

Pemerintah sangat diuntungkan jika koruptor dikumpulkan dalam satu penjara yang berada di pulau asing. Di samping tidak memerlukan penjagaan ekstra karena keamanan terjaga dan peluang kabur lebih sedikit. Juga, bisa dijadikan sebagai langkah memaksimalkan potensi pulau yang belum terurus daripada tidak berpenghuni. Kondisi itu bakal tidak terjadi jika koruptor dimasukkan dalam penjara di kota besar. Karena pasti akan menciptakan peluang besar bagi terwujudnya peluang pemberian fasilitas dan perlakuan lebih kepada koruptor. Dan pihak sipir penjara (mungkin) bakal sering diintervensi dengan pejabat lebih tinggi lainnya jika memperlakukan koruptor seperti penghuni penjara lainnya.

Beda jika penjara di pulau terpencil berdiri. Diskriminasi fasilitas bakal lenyap dengan sendirinya. Pasalnya, bakal sulit menemukan tahanan yang diperlakukan istimewa jika berada di penjara terpencil itu. Karena memang kondisi alamnya tidak memungkinkan bagi koruptor untuk mendapatkan berbagai fasiitas dan sarana lain.

Apalagi jika penjara di bangun di pulau kecil dekat dengan perbatasan negara lain. Hal itu bisa dijadikan solusi masalah Bangsa Indonesia dalam menghadapi sengketa dengan negara lain. Yang kadang dengan seenaknya sendiri mengklaim pulau tidak berpenghuni itu sebagai bukan milik Indonesia.

Erik Purnama Putra

Aktivis Pers Kampus Bestari UMM